MENGAPA (DAN UNTUK APA) BELAJAR THEOLOGIA?

Oleh: Pak Tjonet Soeharyanto
Sewaktu sekolah di Sekolah Menengah Pertama dulu, pelajaran yang sangat menarik bagiku adalah Ilmu Ukur (Geometri) dan Aljabar. Menarik karena kedua ilmu itu, menghantar saya untuk menjadi takjub manakala dapat memecahkan soal yang begitu rumit dengan menggunakan rumus-rumus aneh seperti rumus ABC = 
“x setara dengan minus b plus minus akar b kwadrat minus 4ac, dibagi 2a”
Bilangan misteri “x” akan mudah diketahui nilainya, bila nilai bilangan “a”, :b”, dan “c” telah diketahui. Atau dalil Phytagoras : jumlah kwadrat sisi vertical dan sisi horizontal dalam bangunan segitiga siku-siku, sebanding dengan kwadrat hypotenus (sisi miring). Atau dalil matematikawan dari India Sulbasutra : “Tali yang direntangkan sepanjang panjang diagonal sebuah persegi panjang akan menghasilkan luas yang dihasilkan sisi vertikal dan horisontalnya”. Menggunakan aljabar, dapat diformulasikan ulang teorema tersebut ke dalam pernyataan modern dengan mengambil catatan bahwa luas sebuah bujur sangkar adalah pangkat dua dari panjang sisinya.
Itulah aksioma, sebuah kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya. Seperti kata Euclides, gurunya Phytagoras : “Dalam pembuktian teorema-teorema geometri tak diperlukan adanya contoh dari dunia nyata tetapi cukup dengan deduksi logis menggunakan aksioma-aksioma yang telah dirumuskan” Contoh aksioma Euclides : "Ada satu dan hanya satu garis lurus, di mana garis lurus tersebut selalu dan pasti melewati dua titik”.
Saat itu, untuk seorang remaja seusiaku, hanya sebatas menggemari, belum sampai pada tataran menalar, apa manfaat belajar ilmu “aneh” dan “ajaib” ini; hingga suatu ketika, Pak Ridwan guru Ilmu Ukur menyampaikan pertanyaan kepada kami semua di kelas :”Mengapa dan untuk apa kamu belajar Ilmu Pasti?”
Ada banyak jawab yang terlontar. Semua jawab berdasarkan daya penalaran “anak ingusan”. “Supaya pinter …. Pak” …. “Supaya kelak dapat menjadi Insinyur ….” Dan sekian banyak jawaban lagi yang semuanya terarah pada kelak ingin mencapai ijazah sekolah tertinggi.
Pak Ridwan, guru yang galak tetapi arif itu, tersenyum kecil, lalu komentarnya : “Nak, menjadi pinter itu kalau kamu mengembangkan daya nalarmu ketika kamu mempelajari sesuatu. Sedangkan ijazah Insinyur, Dokter, atau Doktor sekalipun, itu hanyalah merk, bahwa kamu telah selesai sekolah. Tetapi ijazah setinggi dan sebanyak apapun yang kamu raih, kalau daya nalarmu tidak berkembang, ya sama saja dengan sarang burung manyar yang ditinggal pergi penghuninya. Kelihatan indah, tetapi tidak ada manfaatnya apa-apa bagi orang lain…..bahkan bagi dirinya sendiri”
Kami hanya melongo. Kemudian Pak Ridwan melanjutkan :”Kamu belajar Ilmu Pasti, agar kamu dapat dan selalu berpikir logis, terukur dan terstruktur, serta tidak ngawur hanya berdasarkan perasaan …..” Ada beberapa manfaat bila logika penalaranmu berkembang :
1. Membantu untuk dapat berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
2. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
3. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
4. Memaksa dan mendorong untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asas-asas sistematis
5. Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpkir, kekeliruan, serta kesesatan.
6. Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian secara benar dan obyektif.
Tentu kami semua saat itu belum bisa memahami secara nalar nasehat Pak Ridwan ini. Tetapi kelak kemudian, saya menjadi mengerti dan memahami apa maksudnya mengembangkan daya nalar atau logika terstruktur. Saya menjadi faham, bahwa Logika adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif.
Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan (validitas) sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti atau bukti-bukti yang diberikan (premis). Dasar penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif—kadang disebut logika deduktif—adalah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Contohnya demikian :
1. Setiap manusia telah berdosa dan harus bertobat;
2. Semua Alumni I-3 adalah manusia;
3. Semua Alumni I-3 harus bertobat;
Atau :
1. Setiap manusia perlu rukun dan saling mengasihi;
2. Semua Alumni I-3 adalah manusia;
3. Semua Alumni I-3 perlu rukun dan saling mengasihi;
Validitas logikanya memang demikian, tentang faktanya, itu persoalan lain.
Beberapa saat yang lalu, saya pernah melontarkan pertanyaan kepada beberapa teman Alumni I-3 :”Mengapa (dan untuk apa) belajar theologia?” Ada banyak jawab, dan bermacam-macam jawab. Tetapi secara eksplisit mengarah kepada jawab : “Supaya mengerti thelogia, sehingga kelak dapat bekerja melayani sebagai Pendeta, atau Dosen Theologia”. Malah ada yang bilang (barangkali kelakar), agar dapat menjadi Sarjana Theologia, lalu Master Theologia, kemudian Doktor Theologia! …. Kan keren dan gagah!”
Sesempit dan sedangkal itukah niat dan tujuan belajar theologia? Mungkin karena itukah sehingga ada Alumni I-3 yang menjadi “besar kepala” dan “jumawa” ketika bertengger sederet gelar akademis, dari Sarjana hingga Doktor di depan namanya? Merasa paling pinter dan paling hebat sendiri?
Saya lalu teringat kata-kata senior saya Pdt. Dr. Awasuning Maranansyah ketika diwisuda memperoleh gelar Doktor Theologia beberapa saat yang lalu :”Apakah implikasi gelar Doktor ini bagiku? Apakah setelah menyandang gelar prestisius ini aku menjadi manusia lain, yang berjalan mendongak ke atas tanpa (mau) menoleh ke kiri dan kanan lagi? Semoga aku dijauhkan dari perilaku seperti itu; dan nyatanya aku tetap bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Setiap hari masih membersihkan rumah sendiri, belanja ke pasar sendiri, memasak sendiri, untuk melayani anak-anakku, keluargaku ….. Aku tetap bukan apa apa dan bukan siapa siapa, hanya (ingin) menjadi seperti kura-kura, yang terus maju selangkah demi selangkah untuk memenuhi panggilanku : melayani orang lain dalam keterbatasanku…”
Kemudian disambung dengan kesaksian Yuniorku Pdt. Dr. Gunaryo Sudarmanto :”Mencapai jenjang tertinggi dalam sebuah pendidikan, membuatku mengerti, bahwa aku semakin tidak mengerti yang masih harus belajar dan terus belajar untuk menjadi mengerti. Karena semakin tinggi gelar yang kuraih, semakin sempit pengetaahuanku yang hanya memahami satu bidang disiplin ilmu yang kugeluti ….”
Saya terkesima mendengarnya. Bukankah memang demikian sejatinya tujuan belajar thelogia? Yaitu mengembangkan daya nalar dan penalaran theologis dalam konteks sosiologis dan diartikulasikan dalam realitas kehidupan berdasarkan premis-premis theologis dan sosiologis tersebut.
Pemahaman tersebut bila dikomparasikan dengan dalil Phytagoras, dapat dibunyikan demikian :”Jumlah kwadrat sisi vertical (theologis) dan kwadrat sisi horizontal (sosiologis) sebanding dengan hypotenus (artikulasi premis theologis dan sosiologis tersebut” Atau rumus ABC : Faktor ”X” sebagai perwujudan perilaku harus selalu sebanding dan setara dengan kesetaraan premis theologis dibagi premis sosiologis”.
Premis-premis theologis dan sosiologis dalam sebuah bangunan siku-siku kehidupan kerohanian yang ideal, telah termaktub dalam Kitab Torat dan disarikan oleh Tuhan Yesus dalam sebuah kalimat :”Kasihilah Tuhan Allahmu dengan sebulat-bulat hatimu, dan kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri”, harus selalu kita artikulasikan dalam faktor “x” atau “hypotenus” = sisi perilaku kehidupan sehari-hari.
Bila tidak demikian, maka ada suatu yang keliru di sini. Ijazah dan gelar-gelar akademik hanya predikat; Pendeta atau Dosen atau jabatan sapa saja, hanyalah tugas keseharian; tetapi tanpa disertai dengan daya nalar yang benar, maka metaforanya seperti kepompong yang melompong ditinggal pergi kupu atau seperti sarang burung manyar yang telah kosong. Sia-sia di atas kesia-siaan. (TS)

Comments

Popular posts from this blog

Apa itu N1, N2, N3, PM1?

Kumpulan Renungan Pribadi dlm Kitab Mazmur

WASPADAH TERHADAP SIKAP HIDUP AHLI TAURAT