Etika dalam Berkomunikasi
Joshua Phasa
Seorang politikus yang baik akan menyadari, besar kecilnya pengaruh pemikiran dan gerakan politik di berbagai daerah dan suku yang berbedah kepercayaan,sistem sosial buadaya, bahasa dan pola kehidupannya. Melihat keberagaman yang ada, menggugah hati penulis untuk menambah salah satu hal pokok, yang menurut penulis sangat berarti untuk diperhatikan oleh para politikus pada khususnya dan kaum awam pada umumnya. Maksud penulis adalah bagaiaman seseorang dapat mengerti dan memahami pola pikir suatu masyarakat serta pergerakan politik yang ada jika ia tidak memiliki suatu dasar yang kokoh. Dasar yang penulis maksudkan bukanlah suatu hal yang sangat luar biasa. Dasar yang kokoh ini adalah “Kode Etik berkomunikasi.”
Besar kemungkinan bahwa keberhasilan seseorang dalam mempengaruhi orang lain atau kelompok karena didukung oleh gaya, metode, dan startegi berkomunikasi yang dipakainya, dalam hal ini tidak lepas dengan kode etik berkomunikasi yang berlaku secara umum. Komunikasi yang baik akan terwujud apabila diperhatikan dari berbagai aspek.
A. Pengertian Etika
Secara etimologi ada dua kata yang ditarik dari bahasa Yunani untuk memahami
etika secara khusus, yakni (character/ karakter)dan (custom/ kebiasaan).[1] Sedangkan dalam kamus filsafat, karangan Lorens Bagus, mencatat bahwa ethikos, ethos, (adat kebiasaan) berasal dari bahasa Yunani. Jadi yang penulis pakai dalam paper ini adalah kebiasaan. Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari, terlihat banyak hal yang menjadi kebiasaan, termasuk dalam berkomunikasi. Komunikasi sudah menjadi bagian dalam kehidupan, jadi bukan lagi sekedar kebiasaan, tetapi sebuah kebutuhan.
B. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi dalam bahasa Inggris communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama.[2] Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan pokok pikiran, yang membawah pada satu pengertian dengan didasari oleh satu asumsi dasar yang sama.
Kesamaan asumsi belum tentu membawah kepada kesamaan satu pokok pikiran. Selain perbedaan bahasa yang menghalangi kesatuan makna, tetapi juga perbedaan-bedaan lainnya dapat menghambat terwujudnya suatu kesamaan makna. Oleh sebab itu dalam berkomunikasi harus diperhatikan beberapa hal etis maupun yang berupa non etis. Sehingga dengan demikian apa yang menjadi tujuan dalam berkomunikasi dapat tercapai.
C. Pengertian politik
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu poli. Secara harfiah arti kata polis adalah kota , dan dari sinilah kemudian berkembang ke dalam berbagai pengertian. Para ahli membagi pengertian politik menjadi dua, yakni politik sebagai ilmu (political science) dan politik sebagai filsafat (political philosophy).[3] Pada dasarnya akan menimbulkan dua pengertian yang berbedah, terutama pada obyek dan persoalan-persoalan utamanya. Namun mesikipun melahirkan pengertian yang berbedah, keduanya, (science dan philosophy) tetap berangkat dari hubungan teori tentang negara dan seni dari pemerintahan sipil. Karena itu sangat sulit untuk memisahkannya secara jelas, terutama untuk memahami pengertian yang lebih utuh.
KOMUNIKASI POLITIK
A. PENEGRTIAN KOMUNIKASI POLTIK
a. Tujuan komunikasi politik
Setiap Negara mempunyai ideologi, cita-cita dan tujuan luhur. Dengan demikian setiap negara mempunyai politik dan sistem pemerintahannya. Sistem pemerintahan atau strategi politik itulah yang menentukan tercapai tidaknya tujuan luhur suatu bangsa. Seorang ahli komunikasi politik di Ameriaka Serikat yang bernama Dan Nimo memberi pengertian tentang komunikasi politik pada penekanan efek bagi komunikan politisi, akibat penyampaian pesan oleh komunikator. Jadi upaya komunikasi politik dapat dilihat dari efek yang ditimbulkan.
Sementara ahli lain melihat dari sisi tujuan komunikasi itu sendiri. Misalnya Lord Windlesham dalam buku “what is Political communication, mangatakan “Political communication is the deliberate pasing of a political messege by a sender to a receiver with the intension of making the receiver behave in a way that might anda not otherwise have done.” Artinya komunikasi poltik adalah suatu penyampaian pesan politik secara sengaja dilakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan tujuan membuat komunikan berprilaku tertentu.
Sementara itu , Sanders dn rekannya Kaid, dalam tulisan. Political communication Theory and Research: an Overwiev 1976-1977, mengatakan bahwa komunikasi politik harus dengan tujuan persuasi (intentionally persuasive).[4] Tugas seorang komunikator adalah membangun sebuah komunikasi yang mengugah perhatian dan semangat komunikan politik.
b. Hubungan Komunikasi Politik
Kaitan antara politik dengan komunikasi adalah bahwa seorang pemimpin masyarakat atau seorang pemimpin politik mempunyai kesempatan luas dalam memobilisasi opini publik. Sang pemimpin berkomunikasi dalam arti memberi bentuk baru serta menuntun komunikasinya (opini public) ke sasaran yang dikehendakinya. Maka pemimpin public (public leader) juga dan harus sebagai seorang komunikator politik (polical communication) yang menguasai seluruh aspek komunikasi. Contohnya Soekarno (proklamator dan presiden RI pertama) dengan gaya retorika yang hebat mampuh membangun semangat juang seluruh masyarakat, dan yang mampuh memobilisasi masyarakat ke arah politik yang dikehendaki.
B. FAKTOR PENDUKUNG KOMUNIKASI POLITIK
a. Retorika Dalam Komunikasi Politik
Retorika mempunyai pengertian “ketrampikan berbahasa secara efektif atau seni berpidato yang muluk-muluk.[5] Komunikasi membutuhkan seni atau ketrampilan dalam berinteraksi dengan komunikan. Titik tolak retorika adalah bebicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (memberikan informasi atau memberikan motivasi). Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan ketrampilan teknis.[6]
komunikasi begitu esensial dalam masyarakat manusia sehingga setiap orang yang belajar tentang manusia mesti sekali waktu menolehnya. Komunikasi telah di telaah dari berbagai segi; antropolgi, biologi, sosiologi, psikologi dan politik, tetapi yang amat menetap adalah sosiologi, filsafat, dan psikologi.[7] Sosiologi mempelajari interaksi sosial. Interaksi didahului oleh kontak dan komunikasi, oleh karena itu setiap buku sosiologi harus menyinggung komunikasi. Demikian juga psikologi selalu mempunyai hubungan dengan sosiologi, karena yang dipelajari oleh psikologi adalah manusia, yang bergerak, berpikir, berkomunikasi, dan berinteraksi antara satu dengan yang lainya.
c. Filsafat
Manusia sebagai mahkluk hidup juga merupakan subyek dari filsafat yang antara lain membicarakan soal hakekat kodrat manusia, tujuan hidup manusia, dan sebagainya. Dalam konteks yang lebih kecil lagi filsafat sangat berperan dalam komunikasi politik. Komunikasi politik seringkali dibangun dengan filsafat yang mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang sudah dipakai oleh pendahulu-pendahulu dan terus berkembang sampai sekarang ini.[8]
d. Wawasan yang luas
Seorang pembicara harus bersediah menambah wawasan dengan banyak membaca dan mempelajari ilmu-ilmu lainya, seperti buku-buku terkenal dari penulis-penulis besar sepanjang zaman. Mengikuti perkembangan yang ada mulai dari peristiwa-peristiwa kecil hingga peristiwa yang spektakuler. Misalnya perkembangan dunia politik, ekonomi, stabilitas keamanan, pergeseran nilai-nilai kebudayaan, dan informasi-informasi penting lainnya.
Selain dari itu metode berpikir seorang komunikator politik harus dapat diikuti dan pahami oleh orang lain. Kesistematisan dalam pembicaraan tentumya karena dibangun oleh wawasan pembicara yang luas. Sehingga dapat menyajikan topik-topik yang bersifat informatif, edukatif, dan persuasive.
SISTEM-SISTEM KOMUNIKASI POLITIK
Dalam dunia politik, pidato-pidato selalu bersifat politik. Tujuan pidato politik pada umumnya bukan mengajar, tetapi mempengaruhi, menyakinkan, dan membakar semangat. Oleh sebab itu seorang komunikator harus menguasai psikologi massa . Selain itu dia juga harus menguasai teknik dan taktik berbicara. Kembali lagi seperti yang penulis sudah sampaikan dalam bab 2, seorang pembicara atau komunikator harus pula memperhatikan massa yang dihadapinya. Kebutuhan massa tersebut harus menjadi prioritas seorang komunikator politik.
Demikian juga kebudayaan masyarakat setempat harus diperhatikan pula sehingga menimbulkan kebanggaan bagi para pendengar (komunikan). Dengan demikian untuk mencapai tujuan ini maka sangat perlu diperhatikan sistem-sistem yang dipergunakan dalam komunikasi politik. Dibawah ini penulis membagi bentuk-bentuk sistem komunikasi yang dilihat dari beberapa golongan pendengar atau komunikan yang turut mengambil bagian dalam interaksi komunikasi politik.
A. SISTEM KOMUNIKASI INTRAPERSONAL
Sistem komunikasi politik intra personal adalah sistem komunikasi yang dilakukan secara pribadi sebagai persiapan pre-komunikasi inter personal. Ada dua kata kunci di sini, yaitu kata intra dan inter. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, intra berarti ‘(di) dalam’ atau ‘bagian dalam’, sedangkan inter berarti ‘antara dua’. Sesuai dengan makna kata intra maka komunikasi intra personal dilakukan dalam diri pribadi dengan cara menerima informasi (encoding), mengolahnya, dan membandingkan dengan informasi lainnya. Proses ini meliputi sensasi, persepsi, memori, dan proses berpikir
a. Sensasi.
Sensasi berasal dari kata “sense”, artinya alat penginderaan yang langsung menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Sensasi adalah tahap awal dalam penerimaan informasi. Sensasi melibatkan alat-alat indera intuk mengubah informasi menjadi impuls-impuls saraf, dengan bahasa yang dipahami oleh otak sehingga, terjadilah proses sensasi.
Komunikator harus memperhatikan hal ini, apalagi bagi seorang komunikator politik. Seringkali kesalahan dalam berkomunikasi disebabkan oleh penerimaan dan fungsi penginderaan yang tidak tepat. Misalnya seorang mengatakan A, tetapi yang seorang menerimanya B. Ada banyak hal yang mempengaruhi hal ini. Bisa saja karena pendengaran yang tidak sempurnah, atau penglihatan yang kurang jelas. Inilah tugas seorang komunikator politik untuk memperhatikan atau memastikan setiap informasi yang diterima. Hal ini menjaga agar tidak ada kesalahapahaman dengan komunikan.
b. Persepsi.
Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa-peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Presepsi, seperti juga sensasi, ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional.
Seorang calon kepala desa, dengan semangat yang tinggi membagikan sembako kepada beberapa keluarga di suatu desa. Dengan alasan bawha keluarga ini kekurangan pangan, yaitu terlihat dari bangunan rumah yang sangat sederhana dan makanan sehari-hari yang ‘pas-pasan’. Sesungguhnya keluarga ini bukan tidak mampuh. Tetapi mereka hanya ingin menabungkan harta mereka, dan menghemat dalam kebutuhan hidup, dengan tujuan untuk mencukupi dalam keberangkatan ke tanah suci Mekkah.
Ini adalah salah satu ciontoh dalam kesalahan persepsi. Kesalahan persepsi bisa terjadi karena dipengaruhi oleh perhatian kita yang mudah tertipu. Memperhatikan sesiatu hal bukan hanya dari satu sisi tetapi harus dari berbagai sisi. Hal ini penting karena, kehadiran seorang politikus dapat diterima apabila ia dapat menerima massa tersebut dengan tepat dan benar, sehingga ia dapat memberikan apa yang menjadi kebituhan suatu massa .
c. Berpikir
Dalam berpikir akan melibatkan hal-hal di atas yaitu persepsi, sensasi, dan lain-lain. Bepikir berarti menganalisa suatu informasi atau peristiwa yang diterima oleh otak. Bepikir mempunyai dua bentuk, yaitu pikiran yang berupa khayalan dan yang realistis. Floid L. Ruch, menyebut ada tiga macam berpikir realistis: deduktif, induktif, evaluatif.
1. Berpikir deduktif artinya, mendahulukan mengambil sesuatu kesimpulan dari pernyataan yang ada. Kadangkala cara berpikir ini dapat berbahaya jika tidak digunakan pada tempatnya. Menyimpulkan terlebih dahulu satu informasi yang diterima setelah itu mencari kebenarannya, dapat menimbulkan salah kaprah yang berakibat fatal. Oleh sebab itu ada baiknya terlebih dahulu mencari kebenarannya, baru membuat kesimpulan.
2. Berpikir induktif, sebaliknya dimulai dari hal-hal yang khusus dan kemudian mengambil kesimpulan umum.
3. Berpikir evaluatif, yakni berpikir kritis, menilai baik buruknya, tepat atau tidak tepatnya suatu gagasan.
B. SISTEM KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Komunikasi interpersonal berorientasi pada diri sendiri, yakni bagaimana melihat diri sendiri, atau bagaimana konsep diri terhadap diri pribadi. Penulis ingin uraikan dalam komunikasi interpersonal adalah bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dan bagaimana orang lain memandangnya. Hal ini berpengaruh pada pola interaksi dengan orang lain. Pada bagian ini tidak jauh berbedah dengan komunikasi intrapersonal, karena dalam komunikasi pun membutuhkan presepsi, berpikir, dan sensasi. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan menjadi faktor pendukung dalam sistem komunikasi intrapersonal.
a. Konsep diri. William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai “those physical, social, and,phsycological perceptions af ourselves that we have derived from experiences and our interactions with others. Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita terhadap diri kita sendiri.
Bagaimana pandangan dan perasaan terhadap diri pribadi harus ditemukan dan dijawab oleh diri sendiri. Jawaban-jawaban yang ditemukan bisa terjadi karena adanya dukungan dari luar yaitu situasi dan orang lain. Walaupun demikian secara pribadi kita harus menemukan siapa diri kita sesungguhnya, baru mencari dan menemuakn siapa diri orang lain. Kesalahan dalam menilai pribadi bisa berakibat dalam berkomunikasi dengan orang lain. Dampak-dampak itu adalah sebagai berikut:
- kurang percaya diri dalam menyampaikan pesan
- sulit mengembang ide-ide yang ada
- tidak ada aktualisasi diri
- kurang berwibawah
- mudah putus asa dan trauma, sehingga takut gagal
Pengaruh terbesar dalam berkomunikas berasal dari konsep diri yang posetif. Konsep diri yang positif akan ditandai dengan prinsip hidup yang yang selalu optimis, percaya diri, mengerti dengan orang lain.
b. Percaya diri. Seorang komunikator politik harus memberikan suatu kemantapan dalam menyampaikan ide atau pendapatnya. Kemantapan ini muncul karena adanya rasa percaya diri. Rasa percaya diri membantu menguatkan makna dan tujuan dari pesan yang disampaikan.
c. Bertanggung jawab. Banyak kali, seorang komunikator politik berbicara yang tidak sesuai realita suatu hal atau gagasan. Hal ini sangat berpengaruh dengan pandangan para komunikan atau simpatisan. Oleh sebab itu setiap ide, gagasan atau himbauan harus dapat dibuktikan dengan suatu tindakan yang pasti dan realistis.
d. Intensitas Berpikir
Berpikir itu didefinisikan sebagai kemampuan manusia untuk mencari arti bagi realitas yang muncul terhadap kesadarannya dalam pengalaman dan pengertian. Artinya komunikasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan manusia dalam mengutarakan pikirannya kepada pihak lain. Fungsi berpikir terdapat dua aspek penting, yaitu ‘wissen’mengetahui dan ‘versetehen’ adalah mengerti atau memahami secara mendalam. Sangat penting bagi seorang komunikator untuk mengetahui kepada siapa ia berkomunikasi, ia harus megetahui kebutuhhannya, sifatnya, dan kebudayaannya. Tidak cukup sebatas itu, tugas yang berikutnya adalah, ia juga harus mengerti dan memahami keadaan komunikannya. Hal ini berlaku baik dalam komunikasi interpersonal maupun dalam komunikasi kelompok.
e. Sistematika Berpikir
Berpikir secara sistematis bagi komunikator adalah hal yang pentingn dalam menyampaikan isi pesannya tersebut terdiri dari pikiran dan lambing sebagai sarana primernya. Pikiran tersebut harus dikemas melalui bahasa yang sistematis sehingga mudah dimengerti, dan proses ini dinamakan ideasi (ideation), kemudian setelah itu berlangsung proses trasmisi, pengoperna pesan kepada komunikannya. Pada akhirnya tergantung pada komunikatornya yang menyusun pikirannya, sistematika dan filsafat berpikir, yakni berpikir deduktif, berpikir induktif, evaluatif, dan kreatif.
KESIMPULAN
Keseluruhan dari pembahasan penulis adalah pentingnya disiplin ilmu lain dalam menunjang kualitas seorang komunikator politik. Disiplin ilmu yang saya maksudkan misalnya, etika sosial kebudayaan, sosiologi, psikologi, filsafat dan lain-lain. Keterkaitan antara disiplin ilmu ini memberikan suatu kesistematisan dalam mengeluarkan ide-ide yang ada lewat komunikasi. Kesistematisan ini mencakup dalam kesistematisan dalam berpikir dan, kesistematisan dalam berkomunikasi.
Kesistematisan dalam berpikir dan kesistematisan dalam berkomunikasi, tidak cukup apabila mengabaikan pengenalan kepada siapa seorang komunikator berkomunikasi. Maksud penulis adalah kedua hal di atas hanya mencakup antara diri pribadi. Oleh sebab itu untuk lebih baiknya lagi, seseorang harus pula mengerti dengan siapa ia harus berkomunikasi
Bahasan penulis mencakup antara komunikasi pribadi dengan pribadi, yaitu awal sebelum berkomunikasi dengan orang lain. Kedua adalah komunikasi dengan individu lainnya, termasuk komunikasi secara kelompok.
Penulis melihat bahwa prinsip dasar dalam dua bentuk komunikasi ini, yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok mempunyai kesamaan. Oleh sebab itu yang penulis bahas dalam paper ini, cukup mewakili antara dua bentuk komunikasi. Prinsip dasar yang penulis maksudkan adalah pentingnya nilai-nilai etis dalam menyampaikan suatu pokok pikiran, ide, atau gagasan yang bersifat membangkitkan semangat orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Onong Uchajana, Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005)
New Word Dictionary, (Webstern: Second college edition)
Sirait, Saut, Politik kristen (Jakarta : Gunung Mulia, 2001)
Siahan, S. M. Komunikasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991)
Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)
Hendrikus, Dori Wuwur, Retorika, (Jakarta: Kanisius, 1993)
Rahmad, Jalaludin, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993) Walgito, Bimo Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi offset, 1988)
[1] New Word Dictionary, (Webstern: Second college edition) 481
[2] Onong Uchajana Effendy, Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) hal 9
[3] Saut Sirait, Politik kristen (Jakarta : Gunung Mulia, 2001) hal 20
[4] S. M Siahan, Komunikasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991) hal 67
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)
[6] Dori Wuwur Hendrikus, Retorika, (Jakarta: Kanisius, 1993) hal, 14
[7] Jalaludin Rahmad, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993) hal 7
[8] Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Andi offset, 1988)hal 16
Comments